Selasa, 15 April 2025

Dunia Pendidikan membutuhkan _HERO

Sore ini kita merasa disentakkan oleh kenyataan yg sering kita abaikan. Kita mengikuti sebuah acara bincang psikologi yang menghadirkan Ibu Novi, Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan di kanal Youtube. Temanya sederhana, namun sangat relevan dan dalam: “Menguak Fenomena Brain Root”.

Brain root,_ istilah ini merujuk pada akar² perkembangan otak yg terganggu. Akar yg seharusnya tumbuh kuat, tapi kini banyak yg rapuh. Salah satu penyebabnya adalah dunia digital, sosial media dengan algoritma yg tak pernah tidur. Algoritma yg membentuk apa yg anak² kita lihat, pikirkan, rasakan. Dunia yg seolah tanpa jeda, tapi juga minim kebermaknaan.

Lalu Bu Novi berkata sesuatu yg menghujam hati kita: “Dalam pendidikan hari ini, kita membutuhkan HERO.”

HERO =Hope, Empathy, Resilience, Optimism.

Dan saya merenung… anak² kita memang sedang sangat membutuhkannya.

1. Hope: harapan. Banyak anak datang ke sekolah bukan hanya membawa buku dan tas, tapi juga luka & lelah dari rumah, maupun dari lingkungan. Mereka butuh guru yg mampu berkata: “Kamu punya masa depan. Dan kamu pantas mendapatkannya.” Harapan sederhana itulah yg sering jadi bahan bakar mereka untuk mampu bertahan.

2. Empathy: empati. Anak² kita butuh didengar. Bukan dihakimi. Mereka butuh ruang aman untuk menceritakan kegelisahannya tanpa takut disalahkan. Mereka ingin dimengerti, bukan dikendalikan. Ketika kita mampu melihat dari mata murid, bukan hanya dari papan nilai, di sanalah empati tumbuh.

3. Resilience : ketangguhan. Dunia mereka penuh tekanan, perbandingan, kompetisi, dan ekspektasi. Mereka butuh orang dewasa yg menuntun, bukan membebani. Yang mengajarkan bahwa jatuh itu biasa, bangkit itu luar biasa. Dan bahwa gagal bukan akhir, tapi bagian dari proses.

4. Optimism: optimisme. Anak² kita harus percaya bahwa dunia ini masih layak diperjuangkan. Bahwa ada masa depan yg indah menunggu, selama mereka mau terus belajar & bertumbuh. Kita harus jadi cermin optimisme itu di hadapan mereka.

Ternyata... Semua itu… tidak harus dimulai dari panggung besar.

Cukup dari ruang² kelas kita. Kelas kecil, penuh cerita. Cukup dari membiasakan dialektika ruang² berbicara, berdiskusi, saling mendengar, saling memahami. Ruang di mana kita bukan dewa pengetahuan, tapi teman tumbuh yg setara.

Saat kita memberi waktu untuk mendengar pertanyaan mereka, merespon keresahan mereka, mengajak mereka berpikir bersama, di situlah kita sedang merawat akar.

Akar yg akan menjadikan mereka manusia seutuhnya.

Dan hari ini saya sadar… ketika kita membudayakan dialog yg manusiawi, ketika kita hadir utuh di depan mereka, ketika kita menjadi penyala harapan, empati, ketangguhan, dan optimisme, maka sebenarnya kita bukan hanya sedang berjuang menjadi guru. Tapi lebih dari itu… "KITA SEDANG BERJUANG MENJADI MANUSIA".

Rabu, 09 April 2025

AKU MASIH MURID

Biasanya... habis libur panjang Idul Fitri, kita kan minta anak² bikin refleksi. Tentang apa yang mereka pelajari selama liburan, nilai² yang mereka temukan dari silaturahmi, dari momen kebersamaan, meski dalam hal ini catatanya harus berhati² jangan sampai refleksinya jadi ajang lomba ini itu, yang penting adalah mengambil nilai² baiknya dari liburan kemarin.

Tapi kali ini... izinkan saya yg justru ingin berefleksi. Bukan sebagai guru, tapi sebagai murid. Murid kehidupan, murid dari guru saya sendiri.

Lebaran kemarin saya bersilaturahmi ke rumah guru saya waktu SMA dulu. Dan ternyata bukan cuma saya yg datang. Masih banyak murid2 beliau dari angkatan yang berbeda-beda juga hadir. Bahkan tidak hanya pas idul fitri, hari2 biasa kadang juga ada yang silaturahim kesana, murid² nya masih suka datang. Masih merasa butuh menyapa. 

Dan itu bikin saya mikir... sosok seperti apa sih beliau sampai bisa begitu membekas di hati kami para muridnya?

Saya ingat betul, waktu beliau mengajar dulu... hampir nggak pernah marah. Bicaranya pelan, tenang, tapi dalam. Bahkan ketika kami salah, seperti salah menggunakan alat dilaboratorium, salah masang kaca mikroskop, salah prosedur praktik, beliau cuma tersenyum dan bilang, “Yang benar begini ya... Bisa kan? Yuk, jangan diulang lagi. Kamu pasti bisa.”

Gitu aja. Tapi rasanya... ngena banget. Kita nggak merasa dihakimi. Justru termotivasi.

Dan yg bikin saya makin hormat... beliau nggak pernah jaga jarak sama murid. Di luar kelas pun ngobrol bareng, becanda bareng, dengerin curhatan kami. Semua dihargai. Nggak ada istilah murid pintar dimanja, murid nakal dijauhi. Semua dianggap penting dimata beliau.

Saat saya sudah jadi guru dan sempat merasa down karena tugas² yg berat, beliau masih hadir. Menemani, menguatkan, bukan menyalahkan. Saya masih ingat kata-katanya, bukan petuah panjang lebar... tapi kehadiran beliau saja sudah cukup bikin saya merasa tidak sendiri.

Dan sekarang... saya merasa kecil. Saya merasa masih jauh dari menjadi guru sebaik beliau. Tapi silaturahmi kemarin jadi momen penting buat saya. Seolah saya sedang bercermin. Dan cermin itu memantulkan sosok guru yang saya ingin dan sedang belajar untuk menjadi guru yang lebih baik.

Terima kasih, Pak Guru. Terima kasih atas setiap senyum, setiap kata lembutmu, setiap kesabaranmu. Semoga semua kebaikanmu terus mengalir jadi pahala tanpa henti.

Saya masih murid, Pak. Murid yg sedang belajar menjadi guru sepertimu.

-----------

Sahabat2 guru_Semangat back to school_ Tetaplah menjadi guru yg menginspirasi & dirindukan 🙏