Selasa, 09 Desember 2025

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah 
Oleh: Mulyono Malik, M.Pd.
    Di atas dokumen kebijakan dan panggung resmi, pendidikan Indonesia tampak seperti sedang melesat menuju masa depan. Istilah-istilah berkelas berseliweran: smart school, artificial intelligence, metaverse, digital classroom, dan berbagai jargon berteknologi tinggi lainnya. Seakan-akan pendidikan kita sudah hidup beberapa dekade lebih maju dari hari ini. Namun begitu lampu acara redup dan kamera wartawan berhenti merekam, masa depan itu mendadak menghilang. Yang tersisa adalah realitas sederhana: papan tulis lusuh, laptop hibah yang sulit dinyalakan, koneksi internet yang sering “berpikir dulu,” dan guru yang akhirnya kembali ke spidol setelah sekian kali gagal login. 
 
    Ada jurang antara narasi kemajuan dan kondisi nyata. Dan murid adalah pihak yang paling merasakan jarak itu. Digitalisasi Tanpa Arah: Ketika Proyek Mengalahkan Pembelajaran Bukan teknologi yang menjadi masalah, tetapi cara teknologi dipasang dalam sistem pendidikan. Perangkat dan aplikasi sering datang bukan karena sekolah membutuhkan, melainkan karena diputuskan harus digunakan. Seperti memberi obat sebelum memeriksa pasien. Pertanyaan mendasar yang seharusnya menjadi fondasi digitalisasi sering terabaikan: 
• Apakah guru sudah menguasai keterampilan digital? 
• Apakah infrastruktur memadai dan berkelanjutan? 
• Apakah ada pendampingan jangka panjang? 
• Apakah desain teknologi selaras dengan kurikulum dan budaya belajar? 
• Apakah ada biaya perawatan dan pengembangan? 
 
      Yang hadir adalah paket proyek. Yang tidak hadir adalah ekosistem pembelajaran digital yang matang. Akhirnya, sekolah dituntut “menggunakan aplikasi”—bukan “memperbaiki pembelajaran.” Bahkan lebih parah: guru sering dipaksa menjalankan aplikasi tertentu meski tidak relevan dengan materi, karakter kelas, maupun metode belajar. Seolah-olah teknologi adalah tujuan, bukan alat bantu pembelajaran. Padahal seharusnya teknologi pendidikan dirancang atau dipilih oleh guru—berdasarkan kebutuhan pembelajaran secara utuh, sederhana, kontekstual, dan mudah diterapkan. Guru harus memiliki kemerdekaan pedagogis: memilih platform, media, dan teknologi yang paling relevan dengan siswa, bukan sekadar mengikuti daftar aplikasi wajib yang tidak pernah diuji dampaknya. Karena dalam pembelajaran, yang harus berdaulat adalah proses belajar, bukan sistem aplikasi. Murid: Penonton Perubahan yang Tidak Selesai Ada kenyataan pahit yang perlu diakui: 
• Murid tidak menjadi lebih cerdas hanya karena ruang kelas dihiasi perangkat baru. 
• Pembelajaran tidak otomatis meningkat hanya karena guru mengisi banyak aplikasi digital. 
• Transparansi data tidak selalu berarti pembelajaran menjadi lebih bermakna. 

      Murid belajar ketika ia dipahami, didampingi, diajak berpikir, dan diberi kesempatan bereksperimen. Tetapi ketika waktu guru habis untuk memenuhi tuntutan administrasi digital, yang hilang pertama kali adalah hubungan guru–murid. Hasilnya: negara mendapatkan laporan “pemanfaatan teknologi,” sementara murid kehilangan kesempatan belajar yang sesungguhnya. Seperti memotret kebun plastik—rapi, indah, tetapi tidak hidup. Melihat Digitalisasi dari Tempat yang Tepat Jika ingin menilai dengan jujur, ada rumus sederhana: Matikan kamera konferensi — nyalakan kamera di kelas. Kamera konferensi menangkap pencitraan. Kamera kelas menangkap kenyataan. Selama digitalisasi hanya ingin terlihat modern tetapi tidak menyentuh pembelajaran, ia hanya menjadi dekorasi kemajuan. Mengembalikan Makna Digitalisasi Teknologi tetap penting. Tetapi ia harus tunduk pada logika pendidikan dan kemanusiaan. 

     Beberapa prinsip dasar harus diperjuangkan: 
1. Kebutuhan pembelajaran harus menentukan teknologi — bukan sebaliknya. Guru harus memiliki kewenangan memilih media dan platform sesuai karakter murid serta tujuan pembelajaran. 
2. Pelatihan dan pendampingan mendahului perangkat. Inovasi tanpa kesiapan hanya menghasilkan angka penggunaan, bukan kualitas pembelajaran. 
3. Adminstrasi digital harus dipangkas. Guru bukan operator aplikasi — guru adalah penggerak belajar.
4. Kepala sekolah harus menjadi pemimpin pembelajaran, bukan manajer proyek. 
5. Kolaborasi antar sekolah harus fokus pada praktik baik — bukan pada sertifikat webinar. 

     Digitalisasi yang benar bukan diukur dari jumlah perangkat dan aplikasi yang dikirimkan ke sekolah, tetapi dari peningkatan pengalaman belajar murid. Pertanyaan Masa Depan Indonesia boleh mengadopsi teknologi apa pun — AI, VR, atau metaverse. Tetapi jika murid tetap belajar dalam kecemasan, guru bekerja di bawah tekanan aplikasi, dan infrastruktur tidak mendukung, maka digitalisasi hanya menjadi kemasan tanpa isi. Suatu hari nanti, jika pendidikan kita betul-betul maju, alasannya sederhana: 
• Karena kelas kembali menjadi ruang belajar yang hidup. 
• Karena guru punya kemerdekaan memilih dan mengembangkan teknologi pembelajaran. 
• Karena murid dihargai sebagai manusia — bukan sebagai statistik laporan. 

    Teknologi boleh megah. Tetapi pendidikan harus tetap manusiawi. Tanpa itu, digitalisasi hanyalah topeng modernitas yang kehilangan makna. 

 Gresik, 09 Desember 2025

Senin, 08 September 2025

Trik Membaca Efektif_Tidak Mudah Lupa

Apakah benar membaca buku berjam-jam bisa menjadikan kita pintar? Jawabannya mengejutkan: tidak selalu. Banyak orang rajin membaca, tetapi yang tersisa dalam ingatan hanyalah potongan kecil dari apa yang pernah mereka baca. Otak kita ternyata bukan seperti wadah kosong yang bisa diisi begitu saja, melainkan lebih seperti otot yang hanya akan menguat jika dilatih dengan strategi yang tepat. Fakta menariknya, penelitian dari University of Waterloo menemukan bahwa orang yang membaca sambil merenungkan isi teks mampu mengingat hingga 50 persen lebih lama dibanding mereka yang hanya membaca sekadar lewat. Artinya, bukan seberapa banyak buku yang kita habiskan, tetapi bagaimana kita memperlakukan bacaan itu yang menentukan apakah pengetahuan tersebut akan tinggal lama dalam memori. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasa puas setelah menyelesaikan satu buku penuh. Namun, sebulan kemudian, isi buku itu hanya tersisa samar. Misalnya, seseorang membaca buku tentang kebiasaan produktif, merasa tercerahkan, tetapi kembali ke pola lama seminggu kemudian. Itu bukan salah bukunya, melainkan cara kita membacanya. Berikut tujuh trik yang bisa membuat setiap halaman buku menempel lebih lama dalam pikiran. 1. Membaca dengan tujuan yang jelas Banyak orang membaca tanpa arah, hanya sekadar mengikuti alur halaman demi halaman. Padahal, otak manusia lebih mudah menyimpan informasi jika ada kerangka tujuan. Misalnya, ketika membaca buku filsafat, tentukan dulu apa yang ingin dicari: apakah pemahaman konsep kebebasan, atau sekadar menambah wawasan tentang cara berpikir kritis. Dengan tujuan itu, otak secara otomatis akan memfilter informasi yang relevan dan mengabaikan hal yang tidak penting. Contoh sederhana terlihat saat seseorang membaca buku resep masakan. Jika tujuannya hanya hiburan, maka resep itu akan cepat terlupakan. Tetapi jika tujuannya ingin membuat hidangan untuk keluarganya minggu depan, maka detail resep lebih mudah tertanam. Inilah yang menunjukkan bahwa otak bekerja efektif ketika diarahkan oleh tujuan spesifik. Strategi ini membuat kita sadar bahwa membaca bukan kegiatan pasif. Ia membutuhkan kesadaran penuh akan arah. Banyak konten eksklusif di logikafilsuf yang membongkar teknik tujuan membaca dari berbagai tradisi pemikiran, dan ini membuktikan bahwa cara berpikir sebelum membaca sering kali lebih penting dari jumlah buku yang ditamatkan. 2. Membuat catatan aktif, bukan pasif Sekadar menandai kalimat dengan stabilo sering memberi ilusi bahwa kita sudah menguasai isi buku. Padahal, otak cenderung mengingat lebih kuat ketika kita memproses ulang informasi dengan bahasa kita sendiri. Menulis catatan dengan gaya pribadi, pertanyaan kritis, atau bahkan menentang argumen penulis, memberi ruang bagi otak untuk bekerja lebih dalam. Sebagai contoh, seseorang yang membaca buku psikologi lalu menulis catatan, “Teori ini mirip dengan pengalaman saya saat menghadapi stres di kantor,” akan mengingatnya lebih lama dibanding mereka yang hanya menyalin definisi dari buku. Otak menyimpan memori lebih kuat ketika ada keterkaitan dengan pengalaman nyata. Proses ini mungkin terlihat melelahkan, tetapi justru di situlah kekuatannya. Dengan cara ini, setiap catatan menjadi refleksi pribadi, bukan sekadar kutipan orang lain. Kualitas pemahaman jauh lebih meningkat dibanding membaca secara pasif. 3. Menggunakan teknik mengajar ulang Salah satu cara paling efektif mengingat adalah dengan mencoba menjelaskan kembali isi buku kepada orang lain. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai the protégé effect. Ketika kita mengajar, otak dipaksa menyusun ulang informasi secara logis sehingga lebih mudah diingat. Contoh mudahnya, ketika selesai membaca satu bab buku sejarah, coba ceritakan ulang kepada teman dengan gaya bercerita. Jika teman itu bisa paham, berarti kita benar-benar telah menyerap isinya. Jika masih sulit dijelaskan, itu tanda ada bagian yang belum kita kuasai. Kebiasaan ini tidak hanya memperkuat ingatan, tetapi juga melatih kemampuan komunikasi. Membaca bukan lagi sekadar aktivitas individual, melainkan jembatan untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Semakin sering kita melatih diri menjelaskan, semakin kuat pula ingatan kita terhadap isi bacaan. 4. Menerapkan metode spaced repetition Otak kita memiliki kecenderungan lupa yang disebut forgetting curve, ditemukan oleh Hermann Ebbinghaus pada abad ke-19. Informasi baru akan cepat hilang jika tidak diulang secara berkala. Namun, dengan teknik pengulangan yang diberi jarak waktu, memori bisa bertahan jauh lebih lama. Misalnya, setelah membaca satu bab buku, ulangi catatannya keesokan hari, kemudian seminggu setelahnya, lalu sebulan. Dengan pola ini, memori akan semakin menguat karena otak menganggap informasi tersebut penting untuk disimpan jangka panjang. Hal ini terlihat jelas pada pelajar yang menggunakan aplikasi pengulangan berselang seperti Anki atau Quizlet. Mereka mampu mengingat istilah atau konsep bertahun-tahun karena otak terus diberikan pengingat pada waktu yang tepat. Teknik sederhana ini bisa diterapkan siapa saja tanpa memerlukan teknologi canggih. 5. Mengaitkan bacaan dengan pengalaman pribadi Pengetahuan yang terhubung dengan kehidupan nyata cenderung lebih tahan lama dalam ingatan. Jika kita membaca buku tentang etika Aristoteles, lalu mencoba menerapkannya ketika menghadapi konflik moral sehari-hari, maka teori itu akan lebih melekat. Otak tidak menyukai informasi yang berdiri sendiri, ia lebih suka jaringan yang saling terhubung. Sebagai ilustrasi, seseorang yang membaca buku tentang manajemen waktu lalu mencoba mengatur jadwal tidurnya berdasarkan teori itu, akan lebih mudah mengingat konsepnya karena sudah merasakannya dalam praktik. Sebaliknya, jika hanya dibaca tanpa tindakan nyata, memori akan cepat memudar. Membaca menjadi lebih bermakna ketika kita jadikan ia lensa untuk melihat hidup. Buku tidak lagi hanya teks mati, tetapi menjadi cermin yang memantulkan pengalaman pribadi kita sendiri. Dengan begitu, isi buku terasa hidup dan lebih mudah dikenang. 6. Membatasi jumlah bacaan sekaligus Ironisnya, terlalu banyak membaca justru membuat otak kewalahan. Membaca lima buku dalam seminggu seringkali hanya menyisakan serpihan informasi yang tercecer. Otak membutuhkan ruang untuk mencerna, bukan banjir informasi. Contoh sehari-hari, orang yang menonton banyak film sekaligus sering lupa detail ceritanya. Hal serupa terjadi pada membaca. Jika kita memforsir diri membaca terlalu cepat, otak akan menolak menyimpan informasi secara mendalam. Membatasi jumlah bacaan membuat setiap ide memiliki waktu untuk dipikirkan dan direnungkan. Kebiasaan ini bukan berarti membaca sedikit, melainkan membaca dengan kedalaman. Dengan memilih satu atau dua buku lalu mendalaminya, kita memberi kesempatan pada otak untuk menyerap dengan lebih stabil. 7. Membiasakan refleksi setelah membaca Selesai membaca bukan berarti selesai proses. Justru tahap paling penting adalah refleksi. Duduk sejenak, menuliskan apa yang kita pahami, apa yang kita setujui atau sangkal, serta bagaimana bacaan itu bisa diterapkan dalam hidup. Refleksi adalah jembatan antara teks dan diri kita sendiri. Misalnya, setelah membaca buku tentang kebahagiaan, seseorang bisa bertanya, “Bagian mana yang paling relevan dengan hidup saya? Apakah benar kebahagiaan bisa lahir dari kesederhanaan?” Pertanyaan ini bukan hanya melatih ingatan, tetapi juga menghidupkan kembali isi buku dalam konteks pribadi. Dengan refleksi, membaca berubah dari sekadar konsumsi informasi menjadi percakapan dengan diri sendiri. Proses ini membuat pengetahuan lebih dalam, lebih personal, dan lebih tahan lama di ingatan. Membaca buku agar ingat lebih lama ternyata bukan soal berapa banyak yang kita habiskan, melainkan bagaimana kita menyerap, mengolah, dan mengaitkannya dengan kehidupan. Setiap orang bisa mempraktikkan trik ini mulai hari ini tanpa menunggu waktu yang tepat. Kalau menurut kamu, trik mana yang paling sering kamu abaikan saat membaca buku? Tulis di kolom komentar dan jangan lupa bagikan agar lebih banyak orang belajar membaca dengan cara yang benar.

Sabtu, 03 Mei 2025

SEKOLAH BUKAN LAUNDRY

Yang masih anget dibeberapa warung-angkringan, kayaknya seru jadi bahan obrolan sambil minum Kopi, wedang jahe anget, sambil cocol pentol, terus ngelantur mikir... Sekolah saiki kok rasane diposisikan kayak laundry ya? 

Anak² masuk, ditaruh.... keluar harus kinclong. Rapi, pinter, sopan, hafal Pancasila, bisa ngaji, nilai sempurna, dan sing penting ini laku kerja. Wah, kayak mesin cuci premium sing bisa nyalonin anak sekalian, biar nyenengke kalo dilihat.

Padahal, sekolah itu ya bukan tempat nyuci karakter. Lha wong karakter itu digodok soko rumah, direbus karo teladan, dikukus karo kasih sayang, digoreng karo obrolan setiap malam sebelum tidur.

Tapi nggak dikit lho, wong tua saiki mikir: "Pokoknya anakku tak sekolahkan di tempat paling mahal, paling bagus, paling modern... beres!" Lha terus dia piye? Kayak nyerahke motor rusak ke bengkel trus ditinggal dolan. Lha motor bisa diservis, tapi anak? Anak itu jiwa, Mas. Bukan sparepart.

Terus terang jujur ya, sing kudu sekolah ki ya kita kabeh. Wong tua kudu sekolah kehidupan. Belajar nerima, belajar sabar, belajar jadi teladan. Belajar ngomong sing empuk, bukan cuma nyuruh dan ngomel. Karena anak belajar bukan dari teori, tapi dari cara kita hidup.

Nah Guru juga lho, ojo puas mung jadi “penggugur tugas”. Datang – ngajar – pulang – setor nilai. Yo wes, kayak barang² pajangan. Tapi yen guru ngerasa dirinya juga orang tua, meskipun bukan biologis, barulah kita hadir sebagai cahaya. Kata Mbah Guru esensi mendidik itu yg terpenting justru mentransfer rasa, cinta, dan makna, makna tentang kehidupan.

Sekolah harusnya jadi taman, seperti apa yg dicontohkan Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa), bukan laundry. Sekolah sebagai tempat anak tumbuh, bukan dibentuk. Tempat anak mencari jati diri, bukan dipaksa seragam. Anak kita itu bukan semacam produk, jika cacat (gagal) trus dibuang. Bukan juga obyek proyek. Tapi proses tumbuh yg panjang, kadang mbulet, tapi penuh harapan.

Jadi, yo ayo... bareng² belajar terus dadi wong tua. Belajar jadi guru. Belajar jadi manusia.


Kopi angetmu wis adem, tapi obrolan kita kudu tetep anget...

Jumat, 02 Mei 2025

Pembelajaran Mendalam (Deep Learning)

Mulyono Malik, M.Pd.

Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kabupaten Gresik


APA ITU DEEP LEARNING ?

Deep Learning dalam arti harfiah adalah pembelajaran mendalam. Deep Learning adalah pendekatan pembelajaran, bukan kurikulum baru, karena  kurikulun nasional (kurikulum merdeka) masih berlaku. Pembelajaran mendalam menjadi sangat populer setelah Mendikdasmen RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. menyatakan penerapan pendekatan ini pada pembelajaran di sekolah/madrasah.

Dalam perspektif Pendidikan di Indonesia, pembelajaran mendalam didefinisikan sebagai pendekatan pembelajaran yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu.

Berbeda dengan istilah yang umum digunakan dalam ranah kecerdasan buatan (AI), dalam konteks pendidikan Deep Learning menekankan pemahaman konsep secara mendalam, penguasaan kompetensi, serta keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran.

Secara garis besar, pola pembelajaran mandalam dapat terilustrasikan sebagai berikut :

 


3 ELEMEN UTAMA DEEP LEARNING

Pendekatan Deep Learning dalam pendidikan yang diusulkan oleh Mendikdasmen terdiri dari tiga elemen utama, yaitu Meaningful Learning, Mindful Learning, dan Joyful Learning. Masing-masing elemen ini memiliki peran penting dalam membangun pengalaman belajar yang lebih mendalam dan bermakna bagi siswa. 

1.   Meaningful Learning (Pembelajaran Bermakna): 

Meaningful Learning menekankan bahwa proses belajar harus memiliki makna dan keterkaitan dengan kehidupan nyata siswa. Dalam pendekatan ini, siswa tidak hanya menghafal informasi, tetapi juga memahami konsep yang dipelajari dan dapat menghubungkannya dengan situasi sehari-hari.

Contoh:

ü  Dalam pelajaran Fikih, guru mengajak siswa praktik langsung tata cara wudhu sambil menjelaskan makna kesucian dalam persiapan salat.

ü  Dalam Pelajaran IPA, saat belajar tentang ekosistem, siswa tidak hanya menghafal jenis-jenis rantai makanan, tetapi juga menganalisis dampak deforestasi terhadap keseimbangan ekosistem dan mencari solusi untuk menjaga lingkungan. 

2.   Mindful Learning (Pembelajaran Sadar dan Aktif)

Mindful Learning menekankan kesadaran penuh dalam proses belajar. Siswa didorong untuk secara aktif terlibat dalam pembelajaran, berpikir reflektif, serta memiliki niat dan motivasi internal untuk mengembangkan pemahaman serta keterampilan mereka.

Contoh:

ü  Dalam pelajaran Al-Qur'an Hadits, guru mendiskusikan hadis tentang keutamaan jujur, lalu meminta siswa mengaitkan dengan pengalaman jujur mereka di sekolah atau rumah.

ü  Dalam pembelajaran sejarah, siswa tidak hanya membaca buku teks, tetapi juga melakukan riset, berdiskusi, dan membuat presentasi tentang peristiwa sejarah dari berbagai sudut pandang. 

3.   Joyful Learning (Pembelajaran yang Menyenangkan dan Memotivasi)

Joyful Learning menekankan bahwa pembelajaran harus menjadi pengalaman yang menyenangkan dan menggugah minat siswa. Dengan suasana belajar yang positif, siswa lebih termotivasi untuk terus mengeksplorasi pengetahuan dan meningkatkan pemahaman mereka.

Contoh:

ü  Dalam pelajaran Agama Islam, guru menggunakan permainan kuis interaktif tentang rukun iman dan rukun Islam untuk memperkuat pemahaman siswa dengan suasana belajar yang ceria.

ü  Dalam pelajaran matematika, guru menggunakan permainan dan simulasi interaktif untuk membantu siswa memahami konsep aljabar dengan cara yang menyenangkan. 


FONDASI FILOSOFIS DEEP LEARNING

Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya "4 Olah" dalam pendidikan, yaitu olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah rasa dan karsa (estetika, kreativitas, inovasi), dan olah raga (kinestetik). Filosofi ini menekankan pentingnya mengembangkan seluruh aspek kepribadian siswa agar menjadi manusia yang berintegritas dan berdaya saing. Dalam penerapan Deep Learning semua pihak yang terlibat saling menghargai dan menghormati dengan mempertimbangkan potensi, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang meliputi ;

1.   Olah pikir

Merupakan proses pendidikan yang berfokus pada pengasahan akal budi dan kemampuan kognitif, seperti kemampuan untuk memahami, menganalisa, dan memecahkan masalah.

2.   Olah hati

Adalah proses pendidikan untuk mengasah kepekaan batin, membentuk budi pekerti, serta menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.

3.   Olah rasa

Sebagai proses pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kepekaan estetika, empati, dan kemampuan menghargai keindahan serta hubungan antarmanusia.

4.   Olah raga

Merupakan bagian dari pendidikan yang bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan fisik, kekuatan tubuh, serta membentuk karakter melalui kegiatan jasmani.



8 DIMENSI PROFIL LULUSAN DALAM PEMBELAJARAN MENDALAM

Keberhasilan Pembelajaran Mendalam diukur melalui delapan dimensi profil lulusan yang menjadi standar kualitas pendidikan. Berikut 8 dimensi profil lulusan :

1.   Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan YME

Pembelajaran Mendalam menekankan pentingnya nilai spiritual dalam pendidikan. Peserta didik diarahkan untuk memiliki keimanan yang kuat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2.   Kewargaan

Melalui Pembelajaran Mendalam, siswa diajarkan untuk menjadi warga negara yang peduli, bertanggung jawab, dan aktif berkontribusi bagi lingkungan sekitar.

3.   Penalaran Kritis

Salah satu fokus utama Pembelajaran Mendalam adalah meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa agar mampu menganalisis masalah, mengevaluasi informasi, dan menemukan solusi yang tepat.

4.   Kreativitas

Pembelajaran Mendalam mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan berbagai tantangan.

5.   Kolaborasi

Melalui kegiatan kelompok dan proyek kolaboratif, siswa dilatih untuk bekerja sama, berbagi peran, dan mencapai tujuan bersama.

6.   Kemandirian

Pembelajaran Mendalam menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri, tanpa ketergantungan yang berlebihan pada pihak lain.

7.   Kesehatan

Kesehatan fisik dan mental menjadi bagian penting dalam Pembelajaran Mendalam. Keseimbangan antara akademis dan kesejahteraan siswa harus tetap dijaga.

8.   Komunikasi

Pembelajaran Mendalam melatih siswa untuk menguasai keterampilan komunikasi yang efektif, baik secara lisan maupun tulisan, serta mampu mendengarkan dengan baik.

DEEP LEARNING DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN ISLAM

Deep learning dalam pembelajaran Islam tidak hanya berfokus pada hafalan atau pemahaman tingkat dasar, tetapi lebih kepada pemahaman mendalam yang melibatkan refleksi, analisis, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa nilai yang relevan dengan pembelajaran mendalam;

1.   Ta’ammul (Refleksi Mendalam)

Pembelajaran tidak hanya sekadar menghafal, tetapi juga merenungkan makna dan hikmah di balik ilmu yang dipelajari. Contoh: Dalam mempelajari Al- Qur’an, siswa tidak hanya membaca dan menghafal ayat, tetapi juga merenungkan tafsir dan relevansinya dengan

kehidupan.

2.   Tafaqqur (Berpikir Kritis dan Analitis)

Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal dalam memahami ilmu. Contoh: Ketika mempelajari hadis tentang akhlak, siswa diajak untuk menganalisis bagaimana hadis tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sosial saat ini.

3.   Tarbiyah Ruhaniyah (Pengembangan Spiritual dan Karakter)

Pembelajaran Islam bertujuan membentuk manusia yang berakhlak mulia, bukan hanya cerdas secara intelektual.Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal dalam memahami ilmu. Contoh: Saat mempelajari fiqih, siswa tidak hanya memahami hukumhukum Islam tetapi juga diajak untuk memahami nilai-nilai etika dan

moral dalam beribadah dan bermuamalah

4.   Ittiba’ dan Ijtihad (Belajar dari Sumber dan Mengembangkan  Pemikiran Baru)

Deep learning dalam Islam menekankan keseimbangan antara mengikuti ilmu dari sumber otentik (Al-Qur’an dan Hadis) dan berpikir kreatif dalam mengembangkan solusi baru sesuai zaman. Contoh: Dalam mempelajari ekonomi Islam, siswa diajak untuk mengembangkan model bisnis halal yang sesuai dengan prinsip syariah tetapi tetap relevan dengan tantangan modern.

5.   Amal Ilmiah (Aplikasi Ilmu dalam Kehidupan Nyata)

Ilmu dalam Islam harus diamalkan, bukan sekadar dipelajari secara teoritis. Contoh: Dalam mempelajari konsep zakat, siswa tidak hanya menghitung kadar zakat tetapi juga melakukan praktik penghimpunan dan penyaluran zakat kepada yang membutuhkan.

6.   Mujahadah (Belajar dengan Kesungguhan dan Konsistensi)

Pembelajaran Islam membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan perjuangan dalam mencari ilmu. Contoh: Dalam belajar bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an, siswa didorong untuk berlatih secara rutin dan tidak mudah menyerah meskipun sulit.

7.   Pembelajaran Berbasis Kolaborasi (Syura dan Jama’ah)

Islam mengajarkan pentingnya belajar dalam kebersamaan dan berdiskusi untuk memperkaya pemahaman. Contoh: Dalam kajian tafsir Al- Qur’an, siswa diajak untuk berdiskusi dalam kelompok dan bertukar pendapat berdasarkan sumber yang valid. 

 

REFLEKSI_MENJADI GURU OTONOM

Menjadi guru otonom berarti memiliki komitmen untuk mengenal dirinya sendiri. Ia menggali nilai-nilai moral yg dipegang teguh sebagai landasan berpijak agar tidak terombang-ambing di tengah gelombang ketidakpastian. Sebagai guru harus tegar, tidak menyerah pada arus kerumunan yg hanya mengikuti instruksi tanpa pemikiran kritis, tetapi memiliki pendirian yang kokoh. Kita mengerti bahwa, lebih dari sekadar dokumen-dolumen kurikulum, kurikulum sejati adalah diri kita sendiri, bagaimana kita menghidupkan ilmu di dalam kelas, memotivasi dan menginspirasi siswa kita, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan.

Di era di mana kebijakan bisa berubah kapan saja, guru yang mandiri dan merdeka mampu berdiri teguh tanpa harus cemas akan kelangsungan program-program pendidikan. Mereka tidak mengandalkan instruksi sepenuhnya, melainkan mengambil inisiatif untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna. Sikap ini tidak alergi terhadap perubahan, tetapi justru menjadikannya kesempatan untuk belajar, berkembang, dan memperkaya praktik pengajaran. 

Dengan mengenali dan memelihara nilai-nilai moral dalam hidup kita,  kita mampu menjalankan fungsi mulia guru : membimbing & mendidik anak didik kita dengan penuh integritas. Guru yang merdeka membawa martabat dalam peran kita, menjadi teladan bagi siswa dalam hal keteguhan hati, keberanian berpikir, bertindak dengan tanggung jawab. 

Marwah kita mulia bukan hanya melalui sertifikasi, label-label pada diri kita atau program pemerintah, tetapi melalui dedikasi dalam menjalankan fungsi kita dengan baik, menghadirkan pendidikan yg tidak hanya sekadar penyampai informatif tetapi juga sebagai bagian dari transformatif peradaban bangsa.

 

Selasa, 15 April 2025

Dunia Pendidikan membutuhkan _HERO

Sore ini kita merasa disentakkan oleh kenyataan yg sering kita abaikan. Kita mengikuti sebuah acara bincang psikologi yang menghadirkan Ibu Novi, Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan di kanal Youtube. Temanya sederhana, namun sangat relevan dan dalam: “Menguak Fenomena Brain Root”.

Brain root,_ istilah ini merujuk pada akar² perkembangan otak yg terganggu. Akar yg seharusnya tumbuh kuat, tapi kini banyak yg rapuh. Salah satu penyebabnya adalah dunia digital, sosial media dengan algoritma yg tak pernah tidur. Algoritma yg membentuk apa yg anak² kita lihat, pikirkan, rasakan. Dunia yg seolah tanpa jeda, tapi juga minim kebermaknaan.

Lalu Bu Novi berkata sesuatu yg menghujam hati kita: “Dalam pendidikan hari ini, kita membutuhkan HERO.”

HERO =Hope, Empathy, Resilience, Optimism.

Dan saya merenung… anak² kita memang sedang sangat membutuhkannya.

1. Hope: harapan. Banyak anak datang ke sekolah bukan hanya membawa buku dan tas, tapi juga luka & lelah dari rumah, maupun dari lingkungan. Mereka butuh guru yg mampu berkata: “Kamu punya masa depan. Dan kamu pantas mendapatkannya.” Harapan sederhana itulah yg sering jadi bahan bakar mereka untuk mampu bertahan.

2. Empathy: empati. Anak² kita butuh didengar. Bukan dihakimi. Mereka butuh ruang aman untuk menceritakan kegelisahannya tanpa takut disalahkan. Mereka ingin dimengerti, bukan dikendalikan. Ketika kita mampu melihat dari mata murid, bukan hanya dari papan nilai, di sanalah empati tumbuh.

3. Resilience : ketangguhan. Dunia mereka penuh tekanan, perbandingan, kompetisi, dan ekspektasi. Mereka butuh orang dewasa yg menuntun, bukan membebani. Yang mengajarkan bahwa jatuh itu biasa, bangkit itu luar biasa. Dan bahwa gagal bukan akhir, tapi bagian dari proses.

4. Optimism: optimisme. Anak² kita harus percaya bahwa dunia ini masih layak diperjuangkan. Bahwa ada masa depan yg indah menunggu, selama mereka mau terus belajar & bertumbuh. Kita harus jadi cermin optimisme itu di hadapan mereka.

Ternyata... Semua itu… tidak harus dimulai dari panggung besar.

Cukup dari ruang² kelas kita. Kelas kecil, penuh cerita. Cukup dari membiasakan dialektika ruang² berbicara, berdiskusi, saling mendengar, saling memahami. Ruang di mana kita bukan dewa pengetahuan, tapi teman tumbuh yg setara.

Saat kita memberi waktu untuk mendengar pertanyaan mereka, merespon keresahan mereka, mengajak mereka berpikir bersama, di situlah kita sedang merawat akar.

Akar yg akan menjadikan mereka manusia seutuhnya.

Dan hari ini saya sadar… ketika kita membudayakan dialog yg manusiawi, ketika kita hadir utuh di depan mereka, ketika kita menjadi penyala harapan, empati, ketangguhan, dan optimisme, maka sebenarnya kita bukan hanya sedang berjuang menjadi guru. Tapi lebih dari itu… "KITA SEDANG BERJUANG MENJADI MANUSIA".

Rabu, 09 April 2025

AKU MASIH MURID

Biasanya... habis libur panjang Idul Fitri, kita kan minta anak² bikin refleksi. Tentang apa yang mereka pelajari selama liburan, nilai² yang mereka temukan dari silaturahmi, dari momen kebersamaan, meski dalam hal ini catatanya harus berhati² jangan sampai refleksinya jadi ajang lomba ini itu, yang penting adalah mengambil nilai² baiknya dari liburan kemarin.

Tapi kali ini... izinkan saya yg justru ingin berefleksi. Bukan sebagai guru, tapi sebagai murid. Murid kehidupan, murid dari guru saya sendiri.

Lebaran kemarin saya bersilaturahmi ke rumah guru saya waktu SMA dulu. Dan ternyata bukan cuma saya yg datang. Masih banyak murid2 beliau dari angkatan yang berbeda-beda juga hadir. Bahkan tidak hanya pas idul fitri, hari2 biasa kadang juga ada yang silaturahim kesana, murid² nya masih suka datang. Masih merasa butuh menyapa. 

Dan itu bikin saya mikir... sosok seperti apa sih beliau sampai bisa begitu membekas di hati kami para muridnya?

Saya ingat betul, waktu beliau mengajar dulu... hampir nggak pernah marah. Bicaranya pelan, tenang, tapi dalam. Bahkan ketika kami salah, seperti salah menggunakan alat dilaboratorium, salah masang kaca mikroskop, salah prosedur praktik, beliau cuma tersenyum dan bilang, “Yang benar begini ya... Bisa kan? Yuk, jangan diulang lagi. Kamu pasti bisa.”

Gitu aja. Tapi rasanya... ngena banget. Kita nggak merasa dihakimi. Justru termotivasi.

Dan yg bikin saya makin hormat... beliau nggak pernah jaga jarak sama murid. Di luar kelas pun ngobrol bareng, becanda bareng, dengerin curhatan kami. Semua dihargai. Nggak ada istilah murid pintar dimanja, murid nakal dijauhi. Semua dianggap penting dimata beliau.

Saat saya sudah jadi guru dan sempat merasa down karena tugas² yg berat, beliau masih hadir. Menemani, menguatkan, bukan menyalahkan. Saya masih ingat kata-katanya, bukan petuah panjang lebar... tapi kehadiran beliau saja sudah cukup bikin saya merasa tidak sendiri.

Dan sekarang... saya merasa kecil. Saya merasa masih jauh dari menjadi guru sebaik beliau. Tapi silaturahmi kemarin jadi momen penting buat saya. Seolah saya sedang bercermin. Dan cermin itu memantulkan sosok guru yang saya ingin dan sedang belajar untuk menjadi guru yang lebih baik.

Terima kasih, Pak Guru. Terima kasih atas setiap senyum, setiap kata lembutmu, setiap kesabaranmu. Semoga semua kebaikanmu terus mengalir jadi pahala tanpa henti.

Saya masih murid, Pak. Murid yg sedang belajar menjadi guru sepertimu.

-----------

Sahabat2 guru_Semangat back to school_ Tetaplah menjadi guru yg menginspirasi & dirindukan 🙏

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah  Oleh: Mulyono Malik, M.Pd.      Di atas dokumen kebijakan dan p...