Selasa, 09 Desember 2025

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah 
Oleh: Mulyono Malik, M.Pd.
    Di atas dokumen kebijakan dan panggung resmi, pendidikan Indonesia tampak seperti sedang melesat menuju masa depan. Istilah-istilah berkelas berseliweran: smart school, artificial intelligence, metaverse, digital classroom, dan berbagai jargon berteknologi tinggi lainnya. Seakan-akan pendidikan kita sudah hidup beberapa dekade lebih maju dari hari ini. Namun begitu lampu acara redup dan kamera wartawan berhenti merekam, masa depan itu mendadak menghilang. Yang tersisa adalah realitas sederhana: papan tulis lusuh, laptop hibah yang sulit dinyalakan, koneksi internet yang sering “berpikir dulu,” dan guru yang akhirnya kembali ke spidol setelah sekian kali gagal login. 
 
    Ada jurang antara narasi kemajuan dan kondisi nyata. Dan murid adalah pihak yang paling merasakan jarak itu. Digitalisasi Tanpa Arah: Ketika Proyek Mengalahkan Pembelajaran Bukan teknologi yang menjadi masalah, tetapi cara teknologi dipasang dalam sistem pendidikan. Perangkat dan aplikasi sering datang bukan karena sekolah membutuhkan, melainkan karena diputuskan harus digunakan. Seperti memberi obat sebelum memeriksa pasien. Pertanyaan mendasar yang seharusnya menjadi fondasi digitalisasi sering terabaikan: 
• Apakah guru sudah menguasai keterampilan digital? 
• Apakah infrastruktur memadai dan berkelanjutan? 
• Apakah ada pendampingan jangka panjang? 
• Apakah desain teknologi selaras dengan kurikulum dan budaya belajar? 
• Apakah ada biaya perawatan dan pengembangan? 
 
      Yang hadir adalah paket proyek. Yang tidak hadir adalah ekosistem pembelajaran digital yang matang. Akhirnya, sekolah dituntut “menggunakan aplikasi”—bukan “memperbaiki pembelajaran.” Bahkan lebih parah: guru sering dipaksa menjalankan aplikasi tertentu meski tidak relevan dengan materi, karakter kelas, maupun metode belajar. Seolah-olah teknologi adalah tujuan, bukan alat bantu pembelajaran. Padahal seharusnya teknologi pendidikan dirancang atau dipilih oleh guru—berdasarkan kebutuhan pembelajaran secara utuh, sederhana, kontekstual, dan mudah diterapkan. Guru harus memiliki kemerdekaan pedagogis: memilih platform, media, dan teknologi yang paling relevan dengan siswa, bukan sekadar mengikuti daftar aplikasi wajib yang tidak pernah diuji dampaknya. Karena dalam pembelajaran, yang harus berdaulat adalah proses belajar, bukan sistem aplikasi. Murid: Penonton Perubahan yang Tidak Selesai Ada kenyataan pahit yang perlu diakui: 
• Murid tidak menjadi lebih cerdas hanya karena ruang kelas dihiasi perangkat baru. 
• Pembelajaran tidak otomatis meningkat hanya karena guru mengisi banyak aplikasi digital. 
• Transparansi data tidak selalu berarti pembelajaran menjadi lebih bermakna. 

      Murid belajar ketika ia dipahami, didampingi, diajak berpikir, dan diberi kesempatan bereksperimen. Tetapi ketika waktu guru habis untuk memenuhi tuntutan administrasi digital, yang hilang pertama kali adalah hubungan guru–murid. Hasilnya: negara mendapatkan laporan “pemanfaatan teknologi,” sementara murid kehilangan kesempatan belajar yang sesungguhnya. Seperti memotret kebun plastik—rapi, indah, tetapi tidak hidup. Melihat Digitalisasi dari Tempat yang Tepat Jika ingin menilai dengan jujur, ada rumus sederhana: Matikan kamera konferensi — nyalakan kamera di kelas. Kamera konferensi menangkap pencitraan. Kamera kelas menangkap kenyataan. Selama digitalisasi hanya ingin terlihat modern tetapi tidak menyentuh pembelajaran, ia hanya menjadi dekorasi kemajuan. Mengembalikan Makna Digitalisasi Teknologi tetap penting. Tetapi ia harus tunduk pada logika pendidikan dan kemanusiaan. 

     Beberapa prinsip dasar harus diperjuangkan: 
1. Kebutuhan pembelajaran harus menentukan teknologi — bukan sebaliknya. Guru harus memiliki kewenangan memilih media dan platform sesuai karakter murid serta tujuan pembelajaran. 
2. Pelatihan dan pendampingan mendahului perangkat. Inovasi tanpa kesiapan hanya menghasilkan angka penggunaan, bukan kualitas pembelajaran. 
3. Adminstrasi digital harus dipangkas. Guru bukan operator aplikasi — guru adalah penggerak belajar.
4. Kepala sekolah harus menjadi pemimpin pembelajaran, bukan manajer proyek. 
5. Kolaborasi antar sekolah harus fokus pada praktik baik — bukan pada sertifikat webinar. 

     Digitalisasi yang benar bukan diukur dari jumlah perangkat dan aplikasi yang dikirimkan ke sekolah, tetapi dari peningkatan pengalaman belajar murid. Pertanyaan Masa Depan Indonesia boleh mengadopsi teknologi apa pun — AI, VR, atau metaverse. Tetapi jika murid tetap belajar dalam kecemasan, guru bekerja di bawah tekanan aplikasi, dan infrastruktur tidak mendukung, maka digitalisasi hanya menjadi kemasan tanpa isi. Suatu hari nanti, jika pendidikan kita betul-betul maju, alasannya sederhana: 
• Karena kelas kembali menjadi ruang belajar yang hidup. 
• Karena guru punya kemerdekaan memilih dan mengembangkan teknologi pembelajaran. 
• Karena murid dihargai sebagai manusia — bukan sebagai statistik laporan. 

    Teknologi boleh megah. Tetapi pendidikan harus tetap manusiawi. Tanpa itu, digitalisasi hanyalah topeng modernitas yang kehilangan makna. 

 Gresik, 09 Desember 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah

Transformasi Digital Pendidikan: Antara Ilusi Kemajuan dan Realitas Sekolah  Oleh: Mulyono Malik, M.Pd.      Di atas dokumen kebijakan dan p...